News

Setelah Geger 31 Agustus, ke Mana Demokrat Melangkah?

Pernyataan pers Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya di Jakarta pada 31 Agustus 2023, membuat geger jagat politik Tanah Air. Tak hanya masyarakat biasa, elite politik negeri ini juga banyak dibuat terkejut.

Maklum, dalam pernyataan pers tersebut, Demokrat mengungkapkan telah terjadi sesuatu yang tidak terduga dan sulit dipercaya bagi partai besutan Presiden ke-6 RI itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Demokrat memandang telah terjadi perubahan fundamental dan mengejutkan, yaitu dengan dipilihnya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Anies Baswedan dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Permasalahan besarnya bagi Demokrat, yakni sang ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tersingkir dari kursi kandidat bacawapres untuk mendampingi Anies. Padahal, menurut versi Demokrat –yang ikut mengusung Anies sebagai bacapres bersama Partai NasDem dan PKS– dipilihnya Cak Imin sebagai bacawapres tidak disampaikan secara langsung oleh Anies ke pimpinan tertinggi Partai Demokrat. Lebih dari itu, Demokrat mengklaim kursi bacawapres sudah dijanjikan milik AHY.

Dari situ, muncul kegaduhan politik, termasuk di malam tanggal 31 Agustus itu, para kader Demokrat di sejumlah daerah langsung mencopoti spanduk hingga poster yang bergambar Anies. Buntut dari dideklarasikannya Cak Imin sebagai pasangan Anies itu, membuat Demokrat juga hengkang dari KPP.

Belakangan, Demokrat menjajaki sejumlah opsi. Pilihannya ada beberapa. Apakah bergabung ke poros koalisi yang mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai bacapres atau bergabung ke PDIP yang mengusung bacapres Ganjar Pranowo. Ada lagi opsi untuk membentuk poros koalisi baru. Pilihan terakhir tampaknya sulit lantaran harus mengajak partai politik lain, sementara semua parpol yang memiliki kursi di parlemen sudah memiliki koalisi.  Namun, apapun bisa saja terjadi, dinamika politik.

Komunikasi politik pun sudah mulai dibangun. Bahkan PDIP sudah menjembatani untuk terjadinya pertemuan antara SBY dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Jauh sebelum terjadinya gegeran politik tanggal 31 Agustus lalu, AHY juga sudah masuk dalam radar bakal cawapres pendamping Ganjar.

Terbaru, AHY kembali menegaskan bahwa partainya telah membuka lembaran baru atau move on dari dinamika politik yang terjadi belakangan ini. Kita menyongsong peluang-peluang dan juga penuh harapan,” ujar AHY saat memberikan sambutan pada acara Syukuran Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-22 Partai Demokrat di DPP Partai Demokrat, Jakarta, Sabtu (9/9/2023).

Tentukan Pilihan

Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menyebut semua opsi tentunya dibahas. Baik itu opsi untuk bergabung pada dua koalisi yang telah ada, koalisi yang mengusung Prabowo maupun opsi koalisi yang mengusung Ganjar. Termasuk juga opsi poros koalisi baru.

Kata Kamhar kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (8/9/2023), tentunya semua opsi tersebut dihitung dengan cermat dan seksama, hingga saatnya ketika Majelis Tinggi Partai (MTP) memutuskan.

Minggu ini, tutur Kamhar, melalui rapat pleno dan commanders call yang telah dilakukan adalah untuk menjaring aspirasi kader yang menjadi bahan pertimbangan MTP pada saat membahas dan memutuskan arah koalisi Partai Demokrat ke depan. “Jadi kita tunggu saja hasil keputusan MTP.”

Peneliti senior Trust Indonesia, Ahmad Fadhli mencermati Partai Demokrat saat ini memiliki sejumlah opsi untuk bermanuver dalam konstelasi Pilpres 2024 setelah berpolemik dengan bacapres Anies Baswedan. Pertama, mengambil langkah strategis dengan bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang digawangi oleh Gerindra. Secara politik, langkah ini akan semakin menguatkan koalisi besar KIM dan mengulangi sejarah koalisi di tahun 2019 lalu.

“Langkah ini paling rasional bagi Demokrat, karena rasanya tidak mungkin mereka akan ditolak oleh Prabowo dan Koalisi Indonesia Maju. Bagi Demokrat dan Koalisi Indonesia Maju, agenda koalisi ini akan menguntungkan kedua belah pihak,” kata dia dalam keterangannya kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (8/9/2023).

Opsi kedua, Demokrat bisa membangun langkah taktis membentuk koalisi baru dengan menggandeng PKS dan PPP. Langkah ini sangat menguntungkan Demokrat karena berpeluang mendorong AHY menjadi cawapres.

“Opsi kedua ini cukup rasional bagi Demokrat yang memang sangat menginginkan AHY maju dalam Pilpres. AHY potensial menjadi capres atau cawapres asalkan bisa membuat negosiasi dengan PKS dan PPP. Bersama Sandiaga, AHY tentu akan menjadi kunci terbentuknya koalisi ini,” jelas dia.

Ketiga, langkah yang paling utopis, yakni kembali bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Meski terasa berat, ungkap Fadli, langkah ini boleh jadi akan dilakukan Demokrat jika tidak ada koalisi politik lainnya yang mau menerima mereka.

“Opsi ini memang paling konyol. Tetapi opsi ini potensial terjadi kalau tidak ada koalisi politik lain yang mau menerima Demokrat,” kata Fadli.

Selanjutnya, langkah keempat yang disebut sebagai langkah pragmatis. Dalam konteks ini, menurut Fadli, Demokrat bisa saja akan berkoalisi dengan PDIP yang notabene sudah menjadi rival politik hampir 20 tahun. Akan tetapi, jika sampai terjadi, opsi ini hanya akan menjadikan Demokrat sebagai anggota biasa yang kurang memiliki posisi tawar.

“Kalaupun bergabung dengan PDIP, Demokrat tentu hanya menjadi anggota koalisi biasa yang tidak punya posisi tawar dan hanya jadi partisipan biasa. Tetapi memang hanya itu yang bisa dilakukan jika bergabung dengan koalisi yang dikomandoi PDIP tersebut,” ujarnya.

Terakhir, langkah yang paling apatis diambil Demokrat dengan tidak mengusung pasangan capres-cawapres manapun. Langkah ini bisa saja menjadi langkah terakhir yang diambil Demokrat bila komunikasi dengan semua partai politik dan koalisi menemui jalan buntu.

Menurut Fadli, langkah apatis ini akan merugikan Demokrat karena mengubur harapan dan ekspektasi politik kader untuk berpartisipasi dalam Pilpres 2024.

“Trust Indonesia tidak berharap Demokrat akan mengambil langkah terakhir (apatis) ini. Sebab, ini sangat merugikan posisi politik dan mengubur harapan publik serta para kader,” tuturnya.

Dalam pandangan Fadhli, serendah-rendahnya partisipasi politik dalam pilpres adalah bergabung dengan koalisi. “Sebab, di ujung jalan sana, ada harapan bahwa visi-misi politik Demokrat dalam pemerintahan akan diakomodir oleh capres-cawapres dan koalisi jika memenangkan pemilu.”

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button